Dua anak kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya di terminal bis Kampung Melayu, Jakarta. Dua sosok kecil berumur kira-kira delapan tahun menjual tissue di kantong plastik hitam. Saat menyeberang untuk berjalan pulang Saya melihat mereka menawari tissue, Saya melihat orang di sekitar terminal hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan, “Terima kasih Om!” Saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum mengangguk ke arah mereka.
Kaki-kaki kecil mereka menjelajah jalan lain di terminal, menyapa seorang laki laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang penuh keceriaan, laki-laki itu pun menolak dengan gaya yang sama dengan saya, lagi-lagi sayup-sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka. Kantong hitam tempat stok tissue dagangan mereka. Saya melewatinya dengan lirikan kearah dalam kantong itu, dua pertiga terisi tissue putih berbalut plastik transparan.
Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum di wajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang menggayuti langit Jakarta.
“Terima kasih ya mbak … semuanya dua ribu lima ratus rupiah!” tukas mereka, tak lama si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah.
“Maaf, nggak ada kembaliannya … ada uang pas nggak mbak?” mereka menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.
“Mba boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan?”. Kemudian Saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian angkutan umum sebesar empat ribu rupiah. “Nggak punya!”, kata saya. Lalu tak lama si wanita berkata “Ambil saja kembaliannya, dik!” sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya ke arah ujung sebelah timur.
Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya kegenggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget, setengah berteriak ia bilang “Sudah buat kamu saja, gapapa ambil saja!”, namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. “Maaf mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan !”
Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi meninggalkannya. Tinggalah Saya dan mereka. Uang sepuluh ribu digenggaman Saya tentu bukan sepenuhnya milik Saya. Mereka menghampiri saya dan berujar “Mba, bisa tunggu ya, saya ke bawah dulu untuk tukar uang ke tukang ojek!”
“Eeh … nggak usah … nggak usah … biar aja … nih!” Saya kasih uang itu ke si kecil, ia menerimanya, tapi terus berlari ke kumpulan tukang ojek. Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya, “Nanti dulu Mba, biar ditukar dulu … sebentar.”
“Nggak apa apa, itu buat kalian” lanjut Saya. “Jangan … jangan Mba, itu uang Mba sama Mba yang tadi juga” anak itu bersikeras. “Sudah … saya ikhlas, mbak tadi juga pasti ikhlas !”, saya berusaha untuk pergi, namun anak kecil terbeuy menghalangi Saya sejenak berlari ke kumpulan tukang ojek dan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat.
Secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari ke arah saya. “Ini deh Mba, kalau kelamaan, maaf ..”. Ia memberi Saya delapan pack tissue. “Buat apa?”, Saya terbengong “Habis teman Saya lama sih Mba, maaf, tukar pakai tissue aja dulu”. Walau dikembalikan ia tetap menolak.
Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya. Beberapa saat saya mematung di sana, sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah. “Terima kasih Mba!”.. Mereka kembali ke ujung Terminal sambil sayup sayup terdengar percakapan, “Duit mbak tadi gimana ..?” suara kecil yang lain menyahut, “Lu hafal kan orangnya, kali aja ketemu lagi ntar kita kasihin …….”.
Percakapan itu sayup sayup menghilang, saya terhenyak dan pulang kerumah dengan seribu perasaan. yaa Allah hari ini saya belajar dari dua manusia super, kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya terenyuh. Mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra, mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak meminta minta dengan berdagang tissue.
Dua anak kecil yang bahkan belum baligh, memiliki kemuliaan di umur mereka yang begitu belia. Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana. Apa yang bukan milik kita, pantang untuk kita ambil.
Komentar
Posting Komentar